Do Hawu


BUDAYA SABU

KEADAAN UMUM
Pulau Sabu atau Rai Hawu adalah bagian Kabupaten Kupang. Merupakan pulau terpencil dengan luas 460,78 km persegi berpenduduk sekitar 30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi. Karena itu penyebarannya keseluruh Nusa Tenggara Timur cukup menyolok. Dari Kabupaten Kupang Pulau tersebut dapat dijangkau dengan kapal laut selama 12 jam berlayar atau 45 menit dengan pesawat.

LAPISAN SOSIAL
Legenda menuturkan, nenek moyang orang Sabu datang dari seberang yang disebut Bou dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu ude kolo robo. Artinya, orang yang datang dari laut, dari tempat jauh sekali, lalu bermukim dipulau Sabu. Orang pertama adalah Kika Ga dan kakanya Hawu Ga. Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu (Do Hawu) yang ada sekarang. Nama Rai Hawu atau pulau Sabu berasal dari nama Hawu Ga, salah satu leluhur mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sabu hidup dalam kekerabatan keluarga batih (Ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu.

Beberapa batih yag bersekutu dalam suatu upacara adat adalah keluarga luas, huwue kaba gatti, dengan memiliki rumah adat sendiri berketurunan satu nenk atau Heidau Appu. Klen kecil disebut Hewue Kerogo, merupakan gabungan beberapa Udu Dara Ammu. Keturunan dua atau tiga nenek bersaudara, beserta cucu dan keturunannya dipimpin Kattu Kerogo. Klen besar disebit Hewue Udu dipimpin oleh banggu Udu.Secara struktural dalam strata masyarakat dikenal kedudukan tertinggi Hewue Dara Ammu dengan pimpinannya Kattu Udu Dara Ammu yang memimpin upacara, mengatur norma kehidupan, menjaga kesatuan dan persatuan keluarga. Ia pemimpin yang pandai dan bijaksana berperan penting dalam kehidupan masyarakat.

Kemudian ada hewue Kerogo dipimpin Kattu Kerogo yang mengatur kehidupan Kerogo. Mereka berhak menyatakan pendapat dan hak pakai atas tanah milik Kerogo. Kemudian Hewue Adu dipimpin Banggu Adu mengatur hak pakai tanah untuk Ana Udu karena mempunyai hak ulayat. Setiap penggarapan tanah oleh anggota Udu harus diketahui Banggu Udu. Mereka (Udu) juga tidak dikenakan Ihi Rai, sejenis Upeti yakni sebagian hasil panen diberikan kepada Banggu Udu sebagai tanda mengakui menggarap tanah milik orang lain.
Anggota-anggota Udu harus taat kepada Banggu Udu terutama dalam hal bergotong royong. Banggu Udu akan segera turun tangan jika ada yang tidak ikut serta atau melawan tanpa alasan.


MATA PENCAHARIAN
Kehidupan mereka terutama tergantung dari lahan pertanian kering, beternak, menangkap ikan, melakukan kerajinan dan berdagang serta membuat gula Sabu dari Nira lontar. Semuanya tidak dikerjakan secara terpisah. Seorang petani mengerjakan juga pekerjaan lainnya, karena mereka memiliki kalender kerja yang bertumpu pada adat. Semuanya dikerjakan secara tradisional seperti menangkap ikan dengan lukah, bubuh, jala, pukat dan pancing.
Kerajinan yang menonjol adalah tenun ikat dengan warna dasar cerah, dan menganyam daun pandan. Semua pekerjaan ini hampir tidak bernilai komersial karena masih untuk kebutuhan sendiri, seperti halnya membuat gula Sabu sejenis gula Rote, yang menjadi makanan utama. Namun perkembangan jaman menyebabkan mereka juga menanam tanaman perdagangan seperti bawang merah dan kacang tanah untuk dipasarkan. Kacang tanah berkulit yang digoreng bersama pasir, merupakan kekhasan mereka sebagai makanan kecil diwaktu senggang.
Cara bertanam masih sangat tradisonal dengan melepaskan ternak tanpa kandang. Jumlah ternak justru menunjukkan status sosial seseorang. Hewan/ternak piaraan lebih berfungsi sosial ketimbang bernilai ekonomi terutama kuda, kerbau dan domba/kambing. Ternak ini sering menjadi pemenuhan kebutuhan upacara adat seperti kalahiran, perkawinan dan kematian, termasuk untuk upacara sakral, magis religius.

SISTEM KEPERCAYAAN
Masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu sebelum agama Kristen. Kini 80 % masyarakat Sabu beragama Kristen Protestan. Walaupun begitu, pola pikir mereka masih didukung jingitu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.
Norma kepercayaan asli masih menerapkan ketentuan hidup adat atau uku, yang konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari leluhur mereka. Semua yang ada dibumi ini Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo Ama atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mencipta). Deo Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan itu dibawah Deo Ama terdapat berbagai roh yang mengatur kegiatan musim seperti kemarau oleh Pulodo Wadu, musim hujan oleh Deo Rai.

Pembersihan setelah ada pelanggaran harus dilakukan melalui Ruwe, sementara Deo Heleo merupakan dewa pengawas supervisi. Upacara adat yang dilakukan harus oleh deo Pahami, orang yang dilantik dan diurapi. Upacara dilakukan dengan sajian pemotongan hewan besar. Kegiatan setiap upacara berpusat pada pokok kehidupan yakni pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena itu selalu ada dewa atau tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap nira. Kegiatan pada musim hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita “Putri Agung”, Banni Ae, disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan Deo manguru. Karena sangat bergantung pada iklim maka mereka memiliki tiga makluk gaib yakni liru balla (langit), rai balla (bumi) dan dahi balla (laut). Masyarakat Sabu juga emiliki pembawa hujan yaitu angin barat : wa lole, selatan : lou lole dari Timur: dimu lole. Begitu banyak dewa atau tokoh gaib sampai hal yang sekecil-kecilnya seperti petir dan awan. Begitu juga pada usaha penyadapan nira, ada dewa mayang, dewa penjaga wadah penampung (haik) malah sampai haba hawu dan jiwa hode yang menjaga kayu bakar agar cukup untuk memasak gula Sabu.

Kampung masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung bagian dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba rae, (penangkiskampung) sama-sama melindungi kampung.
Oleh karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi semangat atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah seperti tembaga besi. Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang dilakukan sesuai musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah meninggal menjadi deo ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang makan sesajen. Demikian juga terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo pada untuk kambing serta dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu ada saja lawannya. Karena itu, ada dewa perusak yang kebetulan tinggal dilat yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana.
Karena itu, kepadanya harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya ke laut supaya masyarakat terhindar dari berbagai bencana walaupun ada kepercayaan bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahan manusia sendiri yang lalai membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang banni ae, maka sang putri ini akan memeras payudaranya yang menimpa manusia menimbulkan penyakit cacar. 

BAHASA PERGAULAN
Pulau Sabu secara pemerintahan termasuk Kabupaten Kupang, namun dalam pembagian wilayah pesebarannya, bahasa sabu termasuk kelompok bahasa Bima – Sumba. Bahasa Sabu mencakup dialek Raijua (di pulau Raijua). Dialek Mesara, Timu dan seba.



SENI DALAM MASYARAKAT SABU
Kesenian yang paling menonjol adalah seni tari dan tenun ikat. Seni tari antara lain padoa dan ledo hau. Padoa ditarikan pria dan wanita sambil bergandengan tangan, berderet melingkar, menggerakkan kaki searah jarum jam, dihentakkan sesuai irama tertentu menurut nyanyian meno pejo, diiringi pedue yang diikat pada pergelangan kaki para penari. Pedue ialah anyaman daun lontar berbentuk ketupat yang diisi kacang hijau secukupnya sehingga menimbulkan suara sesuai irama kaki yang dihentak-hentakkan. Ledo Hau dilakukan berpasangan pria dan wanita diiringi gong dan tambur serta giring-giring pada kaki pria. Hentakan kaki, lenggang dan pandangan merupakan gerakan utama. Gerakan lain dalam tarian ini ialah gerakan para pria yang saling memotong dengan klewang yang menjadi perlengkapan tari para pria. 

               Tenun ikat mereka yang terkenal adalah si hawu (sarung sabu) dan higi huri (selimut). Mereka melakukan semua proses seperti umumnya di Nusa Tengggara Timur. Benang direntangkan pada langa (kayu perentang khusus) supaya mudah mengikatnya sesuai motif, setelah dilumuri lilin. Pencelupan dilakukan dengan empat warna dasar yakni biru pekat dan hitam, diperoleh ramuannya dari nila, merah dari mengkudu dan kuning dari kunyit.
Motif yang dikenal antara lain flora dan fauna serta motif geometris. Setelah itu benang tersebut direntangkan kembali pada langamane (alat tenun) untuk memulai proses tenun.


Kerajinan Tenun Ikat - Hawu Mehara (Sabu Mesara)
Padoa

Pedue

Gambaran umum perekonomian Lontar di Sabu dan Raijua.

Tanaman Lontar dalam bahasa latin Borassus Sundaicus Beccari/ flabellifer merupakan tanaman asli daerah Sabu dan Raijua, yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi karena manfaatnya sangat banyak bagi kehidupan masyarakat Sabu dan Raijua. banyak mannfat yang di berikan tanaman lontar ini, dari batang, pelepah, daun, buah hingga niranya menyebabkan banyak penduduk yang mengelolanya. Bagian-bagian tanaman Lontar tersebut di manfaatkan oleh penduduk setempat untuk bahan bangunan, perlengkapan dapur, kerajinan dan bahan makan minum.

Pada umumnya pohon Lontar ini tidak di tanam atau di pelihara, tetapi tumbuh subur dan sedemikian banyak. Lontar adalah pohon palem yang berbatang tunggal berjenis kelamin ganda, daunnya berbentuk kipas dan tingginya mencapai 25 sampai 30 meter dengan garis tengah 60 sampai 90 cm. Di puncak pohon Lontar tumbuh mayang-mayang yang besar. Pada mayang Lontar jantan tumbuh tunas-tunas, cabang-cabang tajam yang berpasangan, masing-masing terkulai dari puncak seperti phallus panjang.

Mayang Lontar betina menghasilkan tandan-tandan yang berat dengan buah-buah. Mayang-mayang itu mulai tumbuh waktu pohon Lontar masih muda. Dari kedua jenis mayang tersebut, dapat di sadap nira yang manis. Inilah satu pemanfaatan tanaman Lontar untuk bahan makanan dan minuman yaitu Gula Lontar yang terbuat dari Nira Lontar.

Pohon Lontar berbunga 2 kali setahun, dan baik jantan maupun betina menghasilkan banyak nira. Untuk menyadap Lontar jantan tunas mayang yang terkulai itu di potong ujungnya sesudah berkuncup dan bagian yang bersabut di hancurkan agar mulai mengalirkan nira. Untuk menyadap Lontar betina, mayang harus di remas dengan kuat dan di potong ujungnya sebelum mulai berbuah. Ujung mayang setiap kali harus di potong tipis agar niranya terus mengalir. Alat yang dimaksud untuk menghasilkan Nira yang banyak menggunakan sebuah alat yang dalam bahasa Sabu dikenal dengan Ngapi. Nira dari pohon Lontar itu di kumpulkan 2 kali sehari di dalam semacam timba yang di buat dari daun Lontar. Nira yang segar dapat langsung di minum.

Selama musim penyadapan, masyarakat Sabu dan Raijua hidup dari Nira. Nira sangat cepat menjadi asam, oleh karena itu semua nira yang tidak terminum harus segera di masak di belanga tanah sejenis panci besar (bagi yang cukup untuk masak karena ada juga yang di pakai untuk memberi kepada ternak) sehingga mampu disimpan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar