Ada yang aneh dengan orang-orang di sekitarku. Setiap orang yang aku lihat wajahnya sama seperti aku. Sangat mirip hingga tiap jerawat diwajahnya. Senyuman mereka adalah senyumku. Aku seolah bercermin.
Bedanya adalah ditubuh. Aku hadir dalam berbagai versi tubuh. Kecil, besar, gemuk, kurus, tegap, bungkuk dan seterusnya. Ada juga aku memakai rok dan berpayudara. Itu perempuan atau bencong ? Ah, pastilah perempuan. Masa aku bencong, jijay deh.
Aku mendadak khawatir. Langsung tengok kiri kanan. Di ujung jalan ada pentas topeng monyet. Aku segera ke sana untuk memastikan. Astaga, monyetnya juga berwajah aku. Tetapi kenapa anjingnya tidak ? Oh ternyata monyetnya lagi pakai topeng. Syukur lah.
Saat menonton televisi, ada wajah-wajah aku yang bukan aku di situ. Ada wajahku tengah mencukur habis rambut hingga gundul. Dari narasi berita, itu adalah pemenuhan kaul atas keberhasilan tokoh yang didukung menjadi gubernur. Ah mana mungkin aku melakukan hal tolol semacam itu. Aku golput-ers sejati. Tak sudi mempoligamikan keyakinan dengan ideologi parpol yang omong kosong.
Semakin lama menonton televisi, aku semakin muak dengan wajah-wajahku sendiri. Wajahku yang koruptor senyam-senyum. Senyum itu senyum penuh kemunafikkan. Aku tahu karena itu wajahku. Nyolong tapi ngakunya hutang piutang. Uang dihambur untuk perempuan. Sialnya – perempuan dengan wajahku.
Aku protes. Wajah boleh sama tapi kita kan berbeda. Aku tidak seburuk mereka.
Aku bertanya ke tetangga – siapa sih mereka ?
Jawab tetangga – manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar