September tak lagi indah bagiku. Ingatan memudar, hatiku membelukar. Semua hilang termasuk wujudku. Lenyap, termasuk jarakku dan engkau. Engkau. Ya, engkau yang membuatku menjadi seperti sekarang; merangkak tiada tujuan, meraba tiada pegangan.
Wajahku kian pasi dengan warna bibir tak berdarah. Jasadku terguncang di antara sobekan kecil kertas putih yang berubah abu: ternodai rintik hitam dosa-dosa. Kakiku, tanganku, sendi-sendiku pun terasa kaku tak berdaya. Aku mematung di antara dua dinding atas-bawah, dua dinding di kiri-kanan yang gulita.
Bayangku kian risau dengan rasa sesak yang akan mencapai ubun-ubun. Desahku yang parau berubah pula menjadi sendumu saat tangis tak lagi mampu dibendung riasmu yang berkilau. Cahaya itu lenyap, bayangku ikut lenyap! Setiap hari adalah malam. Setiap hari adalah waktu tidurku, sayang.
Pernah, suatu ketika aku termenung di perbatasan hening dan riuh. Aku bingung; beranjak ke masa depan tanpa modal, ataukah tetap tegar di masa lalu. Bukan tegar, melainkan berpura-pura tegar tanpa peduli malu. Bukan tiada modal, melainkan rasa malas yang terus saja membelenggu.
Aku terlalu lama berpikir sampai-sampai waktu menjorokkanku ke lubang pilu. Aku terlalu jahat karena membiarkan tangismu yang keras kian melamat saat cahaya bercampur tanah dan debu. September tanpa memori, Oktober pun sama. November, Desember, Januari dan seterusnya, aku tetap terlelap di kotak tanah yang masih basah. Basah oleh tangismu, sayang.
\m/ Keep Rock !! \m/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar