Kami pernah bersama. Benar-benar bersama. Setiap hari yang kami lakukan hanya berbagi cerita, saling bertanya kabar satu sama lainnya. Saling merindukan, saling mendoakan. Kami pasangan yang serasi. Kata dia begitu. Entah kenapa aku kurang setuju. Kami bukan pasangan, tapi sudah menjadi satu bagian dari kebersamaan itu sendiri. Jadi, aku anggap bahwa ketika dia tak bersamaku berarti dia tak lengkap. Begitu juga sebaliknya. Tanpa aku, dia tak sempurna.
Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya. Dengan berbagai sapa cinta setiap pagi. Berbagai macam ucapan doa dan harap setiap hari. Aku dan dia benar-benar seperti sudah ketergantungan. Dia membuatku lebih dari spesial. Dia pernah bilang bahwa dia selalu mendambakan sosok ‘Pangeran’. Ya, Pangeran. Seseorang yang membuatnya jauh lebih bernyawa dari sebelumnya dia sebut Pangeran. Seseorang yang akan dia cintai sampai lebih lama dari selamanya dia sebut Pangeran. Seseorang yang akan dia buat selalu bahagia dia sebut Pangeran. Pangeran itu aku, katanya.
Kami pun membuat dongeng kami sendiri. Dia yang jadi Puteri Bergaun Putih Panjang Dengan Sayap di kiri-kanan, aku yang jadi Pangeran Ksatria Berkuda Putih. Mungkin sebagian orang akan mual. Tapi jika mereka sudah tahu seperti apa hubungan yang kami jalani, aku berani bertaruh mereka justru akan iri. Aku merasa menjadi pria paling sempurna dan beruntung di dunia saat memilikinya. Dia, wanitaku yang selalu cantik dan anggun meski memakai pakaian apa saja. Wanitaku yang tak pernah membuatku marah. Wanitaku yang selalu menggodaku dengan candaan dan kekonyolannya. Yah, dia pernah melakukan semua itu.
Dongeng kami selalu berisi tentang kebahagiaan. Sialnya, kami tidak pernah mempersiapkan kemungkinan terpahit tentang sebuah perpisahan. Aku sebenarnya sudah tahu sejak awal. Aku dan dia… kami tak mungkin bisa memperjuangkannya. Kami jatuh cinta, saling menginginkan, pernah berciuman tanpa ragu, pernah bermimpi tentang indahnya membangun sebuah keluarga, tapi… kami tak akan bisa kesana.